Jumat, 25 November 2011

memandang beban hidup

Bukan berat Beban yang membuat kita Stress, tetapi lamanya kita memikul beban tersebut. 

Pada saat memberikan kuliah tentang Manajemen Stress, Stephen Covey mengangkat segelas air dan bertanya kepada para siswanya: “Seberapa berat menurut anda kira segelas air ini?” 

Para siswa menjawab mulai dari 200 gr sampai 500 gr. “Ini bukanlah masalah berat absolutnya,
tapi tergantung berapa lama anda memegangnya.” kata Covey. 

“Jika saya memegangnya selama 1 menit, tidak ada masalah. Jika saya memegangnya selama 1 jam, lengan kanan saya akan sakit. Dan jika saya memegangnya selama 1 hari penuh, mungkin anda harus memanggilkan ambulans untuk saya. Beratnya sebenarnya sama, tapi semakin lama saya memegangnya, maka bebannya akan semakin berat.” 

“Jika kita membawa beban kita terus menerus, lambat laun kita tidak akan mampu membawanya lagi. Beban itu akan meningkat beratnya.” lanjut Covey. “Apa yang harus kita lakukan adalah meletakkan gelas tersebut, istirahat sejenak sebelum mengangkatnya lagi”. 

Kita harus meninggalkan beban kita secara periodik, agar kita dapat lebih segar dan mampu membawanya lagi. 

Jadi sebelum pulang ke rumah dari pekerjaan sore ini, tinggalkan beban pekerjaan. Jangan bawa pulang. Beban itu dapat diambil lagi besok. Apapun beban yang ada dipundak anda hari ini, coba tinggalkan sejenak jika bisa. Setelah beristirahat nanti dapat diambil lagi. 

Hidup ini singkat, jadi cobalah menikmatinya dan memanfaatkannya…!!

tiada kata gagal sebelum ajal datang

Setiap orang mungkin pernah merasakan pahitnya kegagalan. Target yang tidak tercapai, perjuangan yang tak membuahkan hasil sesuai keinginan, atau bahkan permohonan yang tak kunjung terkabulkan.
Manusiapun beragam dalam menyikapi kenyataan seperti ini. Ada yang sedih ketika tak lulus sekolah, ada yang depresi lantaran gagal menjadi pejabat, stress lantaran usahanya gulung tikar, dan bahkan ada yang bunuh diri karena gagal menikah dengan orang yang dicintainya. Intinya adalah putus asa dan berat menerima kenyataan yang tidak sesuai harapan.
Tak Ada Istilah Gagal, Kecuali dalam Satu Hal
Sebenarnya, tak ada istilah gagal dalam berusaha, selain kegagalan dalam menyikapi hasil. Inipun, masih ada peluang untuk perbaikan. Hanya ada satu kegagalan yang fatal, yang benar-benar dikatakan gagal, yakni gagal dalam mengisi hidup hingga datangnya ajal.
Kalaupun ada tujuan yang belum mampu didapatkan, secara hakikat bisa jadi bukan bermakna kegagalan. Bisa jadi, penangguhan keberhasilan itu merupakan anugerah. Agar kita mau bermuhasabah, lalu ada kesempatan untuk memperbaiki diri. Seandainya keberhasilan langsung wujud, mungkin tak ada waktu lagi untuk berbenah. Seyogyanya, seorang muslim langsung bermuhasabah begitu tujuan yang hendak diraih itu meleset.
Pertama, apakah tujuan tersebut benar-benar sesuatu yang disyariatkan, atau bahkan bertentangan dengan syariat. Jika ternyata bertentangan dengan syariat, maka bersyukurlah ketika gagal, karena berarti Allah masih sayang kepadanya. Dia hendak menghindarkannya dari sesuatu yang bertentangan dengan syariat. Maka ia bukan orang yang gagal, tapi sukses dalam menghindari suatu keburukan.
Namun jika ternyata yang belum berhasil diraihnya adalah suatu tujuan yang mulia, hendaknya ia kembali introspeksi terhadap cara yang dia tempuh. Apakah menggunakan cara yang haram, ataukah yang diijinkan oleh syariat. Jika caranya haram, maka cobalah kembali dengan cara yang sesuai syar’i, karena Allah tidak menghendaki sesuatu yang mulia diraih dengan cara yang hina.
Jika ternyata caranya juga sudah sesuai syar’i, namun belum juga berhasil, ada baiknya melihatmakasib (usaha) secara kauni. Dengan bahasa kekinian, apakah usaha tersebut telah termenej dengan baik, baik dari sisi perencanaan, pengelolaan, maupun kontrolnya? Karena bisa jadi kegagalan (sementara) itu disebabkan kurangnya pengetahuan, kesungguhan atau kedisiplinan dalam berusaha. Dengan kegagalan tersebut, Allah memberi kesempatan kepada kita untuk memperluas pengetahuan dan meningkatkan kesungguhan kita dalam berusaha. Bukankah ini berarti keberhasilan dalam memperbaiki diri? Bahkan keberhasilan seperti yang diinginkan segera mengikuti insya Allah. Perhatikanlah seekor semut yang membawa beban berat menuju sarangnya di ketinggian pohon. Berapa kali ia terjatuh, sebanyak itu pula ia bangkit dan berusaha, hingga akhirnya ia berhasil mencapai tujuan yang diinginkan. (Abu Umar Abdillah)

MLM dalam Pandangan Islam

Akhir-akhir banyak masyarakat yang menanyakan hukum melakukan transaksi jual beli dengan system MLM ( Multi Level Marketing ). Tulisan di bawah ini mudah-mudahan bisa menjawab pertanyaan tersebut :

Pengertian MLM

MLM adalah sistem penjualan yang memanfaatkankonsumensebagai tenaga penyalur secara langsung. Sistem penjualan ini menggunakan beberapa level ( tingkatan) di dalam pemasaran barang dagangannya.
Promotor (upline) adalah anggota yang sudah mendapatkan hak keanggotaan terlebih dahulu, sedangkan bawahan (downline) adalah anggota baru direkrut oleh promotor.
Komisi yang diberikan dalam pemasaran berjenjang dihitung berdasarkan banyaknya jasadistribusi yang otomatis terjadi jika bawahan melakukan pembelian barang. Promotor akan mendapatkan komisi tertentu sebagai bentuk balas jasa atas perekrutan bawahan.
Harga barang yang ditawarkan di tingkat konsumen adalah harga produksi ditambah komisi yang menjadi hak konsumen karena secara tidak langsung telah membantu kelancaran distribusi.(http://id.wikipedia.org)
Untuk menjadi keanggotaan MLM, seseorang biasanya diharuskan mengisi formulir dan membayar uang dalam jumlah tertentu dan kadang diharuskan membeli produk tertentu dari perusahaan MLM tersebut, ada juga yang tidak mensyaratkan pembelian. Pembayaran dan pembelian produk tersebut sebagai syarat untuk mendapatkan point. Point bisa didapatkan melalui pembelian atau dari jumlah anggota yang berhasilk direkrut.
Transaksi jual beli dengan menggunakan dengan sistem MLM hukumnya haram. Alasan-alasannya adalah sebagai berikut :
Alasan Pertama :
Di dalam transaksi dengan metode MLM,seorang anggota mempunyai dua kedudukan  :
Kedudukan Pertama :  sebagai pembeli produk, karena dia membeli produk secara langsung dari perusahaan atau distributor.  Pada setiap pembelian, biasanyadia akan mendapatkan bonus berupa potongan harga.
Kedudukan Kedua :  sebagai makelar, karena selain membeli produk tersebut, dia harus berusaha merekrut anggota baru. Setiap perekrutan dia mendapatkan bonus juga.
Pertanyaannya adalah bagaimana hukum melakukan satu akad dengan menghasilkan dua akad sekaligus, yaitu sebagai pembeli dan makelar ?
Dalam Islam hal itu dilarang, ini berdasarkan hadist-hadist di bawah ini :
1.    Hadits Abu Hurairah, ra bahwasanya ia berkata :
<h2>نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ</h2>
“Nabi Saw, telah melarang dua pembelian dalam satu pembelian.”
( HR Tirmidzi, Nasai dan Ahmad. Berkata Imam Tirmidzi).
Imam Syafi’I berkata tentang hadist ini, sebagaimana dinukil Imam Tirmidzi :Yaitu jika seseorang mengatakan: “Aku menjual rumahku kepadamu dengan harga sekian dengan syarat kamu harus menjual budakmu kepadaku dengan harga sekian. Jika budakmu sudah menjadi milikku berarti rumahku juga menjadi milikmu. “ ( Sunan Tirmidzi, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, Juz : 3, hlm. 533 )
Kesimpulannya bahwa melakukan dua macam akad dalam satu transaksi yang mengikat satu dengan yang lainnya adalah haram berdasarkan hadist di atas.
2.    Hadist Abdullah bin Amr, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
<h2>لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ</h2>
“Tidak halal menjual sesuatu dengan syarat memberikan hutangan, dua syarat dalam satu transaksi, keuntungan menjual sesuatu yang belum engkau jamin, serta menjual sesuatu yang bukan milikmu.” ( HR Abu Daud )
Alasan diharamkannya transaksi seperti ini adalah tidak jelasnya harga barang dan menggantungkan suatu transaksi kepada syarat yang belum tentu terjadi.( al Mubarkufuri, Tuhfadh al Ahwadzi,  Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, Juz : 4, hlm. 358, asy Syaukani, Nailul Author, Riyadh, Dar an Nafais, juz : 5, hlm: 173 )
Alasan Kedua :
Di dalam MLM terdapat makelar berantai.  Sebenarnya makelar (samsarah) dibolehkan di dalam Islam, yaitu transaksi dimana pihak pertama mendapatkan imbalan atas usahanya memasarkan produk dan usaha mempertemukannya dengan pembeli.
Adapun makelar di dalam MLM bukanlah memasarkan produk, tetapi memasarkan komisi. Maka, kita dapatkan setiap anggota MLM memasarkan produk kepada orang yang akan memasarkan dan seterusnya, sehingga terjadilah pemasaran berantai. Dan ini tidak dibolehkan karena akadnya mengandung gharar dan spekulatif.
Alasan Ketiga :
Di dalam MLM terdapat unsur perjudian, karena seseorang ketika membeli salah satu produk yang ditawarkan, sebenarnya niatnya  bukan karena ingin memanfaatkan atau memakai produk tersebut, tetapi dia membelinya sekedar  sebagai sarana untuk mendapatkan point yang nilainya jauh lebih besar dari harga barang tersebut. Sedangkan nilai yang diharapkan tersebut belum tentu ia dapatkan.
Alasan Keempat :
Didalam MLM banyak terdapat unsur gharar  (spekulatif)atau sesuatu yang tidak ada kejelasan yang diharamkan Syariat, karena anggota yang sudah membeli produk tadi, mengharap keuntungan yang lebih banyak, tetapi dia sendiri tidak mengetahui apakah berhasil mendapatkan keuntungan tersebut atau malah merugi.
Dan Nabi Muhammad saw sendiri melarang setiap transaksi yang mengandung gharar, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra bahwasanya ia berkata :
<h2>نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ</h2>
“ Rasulullah saw melarang jual beli dengan cara al-hashah (yaitu: jual beli dengan melempar kerikil) dan cara lain yang mengandung unsur gharar (spekulatif). “ ( HR Muslim,no: 2783  )
Alasan Kelima :
Sistem MLM bertentangan dengan kaidahAl Ghunmu bi al Ghurmi, yang artinya bahwa keuntungan itu sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan atau resiko yang dihadapinya. Di dalam MLM ada pihak-pihak yang paling dirugikan yaitu mereka yang berada di level-level paling bawah, karena merekalah yang sebenarnya bekerja keras untuk merekrut anggota baru, tetapi keuntungannya yang menikmati adalah orang-orang level atas.
Alasan Keenam :
Sebagian ulama mengatakan bahwa transaksi dengan sistem MLM mengandung riba riba fadhl,karena anggotanya membayar sejumlah kecil dari hartanya untuk mendapatkan jumlah yang lebih besar darinya, seakan-akan ia menukar uang dengan uang dengan jumlah yang berbeda. Inilah yang disebut dengan riba fadhl (selisih kuantitas). Begitu juga termasuk dalam katagori riba nasi’ah, karena anggotanya mendapatkan uang penggantinya tidak secara cash.
Produk yang dijual oleh perusahaan kepada konsumen tiada lain hanya sebagai sarana untuk barter uang tersebut dan bukan menjadi tujuan anggota,  sehingga keberadaannya tidak berpengaruh dalam hukum transaksi ini.
Keharaman jual beli dengan sistem MLM ini, sebenarnya sudah difatwakan oleh sejumlah ulama di Timur Tengah, diantaranya adalah Fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy Sudan yang dikeluarkan pada tanggal 17 Rabi’ul Akhir 1424 H, kemudian dikuatkan dengan Fatwa Lajnah Daimah Arab Saudi pada tanggal 14/3/1425 dengan nomor (22935). Wallahu A’lam. (Jakarta, 16 Syawal 1431)
diambil dari: www.arrisalah.net